Sign up for PayPal and start accepting credit card payments instantly.

Minggu, 29 Agustus 2010

Perjalanan Hidup Memberi dan Berbagi Hati

Miris rasanya ketika mendengar, bayinya meninggal karena tak tertolong dan tak ada biaya melahirkan. Atau, ‘ya gimana lagi, habisnya mahal sih!’ Hidup jadi beban ketika apa pun butuh dijawab dengan lembaran angka, bukan dinilai dari kesembuhan manusianya dulu. Inilah sepercik kenyataan bila masyarakat miskin mengalami persoalan hidup di seputar kesehariannya.

Apakah kami berkategori miskin? Yang jelas, perjalanan berobat ibu bukanlah sebatas koin logam, tetapi lembaran angka.

Ada sekian genggam obat-obatan warung, terselip di antara bantal, juga laci ketika itu. Menelannya dengan sembunyi-sembunyi, menghindari jebakan anak-anaknya mengetahui, adalah cara ibu yang saya ketahui. Letih dengan sakit, barangkali, adalah ikhtiar lain yang harus ia cari.

Sengal dan batuknya hingga rontgen menegaskan paru-parunya bermasalah. Keluar-masuk dokter mengungkapkan hal yang sama. Pancaran sembuh di balik raut adalah apa yang anak-anak percayai sebagai gambaran sehat ibu ketika itu, selebihnya mengerang dan bahkan mengejang hingga harus diopname. Tampak ia berusaha meyakinkan meskipun hatinya rapuh kemudian.

Cara menghindari pengeluaran sekaligus pilihan cepat sembuh, adalah apa yang ibu lakukan sebelum itu dan bahkan kemudian. Dipilihlah kemudian pengobatan yang murah, seperti menyerah pada keadaan, bertahun berganti-ganti cara. Sekian dokter dikunjungi, juga pengobatan alternatif, bak pelesir melelapkan diri pada keadaan, hasilnya bukanlah harapan keluarga.

Mengingat ibu, mengingat perjuangan hidup bersama ayah. Yang satu imam, yang satu makmum beserta 10 anak.

Ingatan saya selalu tertumbuk pada camilan Sunda: cireng, comro, atau berjenis-jenis gorengan. Diusahakannya makanan itu ketika saya pulang, “Dadan kan kesukaannya yang asin-asin, Emak belikan nih,”tutur biasa, juga kerinduan melihat anaknya pulang karena anaknya tidak lagi tinggal di rumah bersama.

Kesendiriannyakah yang membuatnya ia mengatasi masalahnya? Padahal ada ayah, adik-adik, juga dua kakak. Mungkin, ia begitu yakin dengan kata hatinya, hingga rutinitas ke dokter jadi setengah hati. Kami anak-anaknya jarang diajak komunikasi, barangkali cara “membandel”, adalah cara ibu menunjukkan diri bahwa ia memang “orang tua” yang memiliki otortas melebihi anaknya. Pun “sehat” tampaknya ingin ia tunjukkan.

Berempati itu adalah bahasa hati. Keluhan hanya mungkin diwadahi, bukan didebat, tapi dikupingkan. Keluhan itulah yang barangkali ingin ia ungkapkan dan kita dengarkan, bertahun-tahun setalah usianya membesarkan kami. Cara membahasakan hati, sebagai anak, jadi ampuh dalam memecahkan solusi yang ia hadapi. Memberi dengan bukti adalah pilihan mengulurkan dan memberi apa pun semata-mata demi keikhlasan, bahkan kewajiban.

“Bapak kan tidak bekerja,” kata itu diulang, menegaskan uang ke dokter harus dari siapa. Ke anak-anak, rasa malu membuat kami tersentuh, kalimatnya teramat jelas, “tidak enak, kan punya urusan keluarga masing-masing, lagian....” Ah, ibu, kenapa harus berhitung segala? Kenapa anak-anak dianggap orang lain, adakah meminta adalah dosa? Apalagi demi uluran sembuh bagi hari-hari yang akan ia jalani.

Adakah karena anak-anak yang tidak tegas mengulurkan? Boleh jadi, inilah pelajaran lain tentang keikhlasan dan miskin adalah beban yang harus kita singkirkan. Ia tetap “bersembunyi”, berobat warung dan alternatif, semata-mata dalam pandangan yakinnya, ia enggan jadi beban, ia bisa melakukan pilihannya sendiri—pilihan yang dianggap murah dan aman plus “menyehatkan” itu. Kami harus harus main “petak umpet”, memastikan gerangan ke mana dan di mana ibu, apa yang tengah ia lakukan. Semakin saya menarik diri, semakin menyadari betapa ia harus kembali bergairah menyehatkan diri, menafkahi perjalanan hidup kita anak-anaknya.

Jangan sampai masalah yang lebih fatal terjadi, seperti kisah sakit tetangga, juga orang-orang lain yang tidak beruntung secara ekonomi. Ketika apa pun dibiarkan, apa pun dibengkalaikan, yang terjadi adalah apa pun yang tidak kita perkirakan. Bebannya bukan hanya limpahan materi, tapi juga kurasan energi.

Itulah ketika diopname kedua atau ketiga kali, saya “bersyukur”, bukan karena sakitnya tapi saya masih bisa memberi dan berbagi hati meski dengan secuil materi.

(salah satu pemenang lomba 1000 Kisah Ibu)

4 komentar:

  1. This is a very touching life story pak.

    BalasHapus
  2. mudah-mudahan, terima kasih komennya. tetap berkarya, tetap maju!

    BalasHapus
  3. wah... bagus pak...
    baca bloq aku juga ya?
    www.poe-edyson.blogspot.com
    n jgn lupa koment n follow ya?
    bapak uda saya follow soalnya
    heheheh

    BalasHapus
  4. terima kasih atas komen Anda, Poe, ini sekadar cerita biasa, saripati kehidupan kita. Kalau berkenan silakan masuk ke http://seuntaidaringbahasadansastra.blogspot.com

    BalasHapus